Senin, 23 Oktober 2017

DINAMIKA PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF POLITIK PENDIDIKAN


Abstrak:
Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan ideologi dan politik penguasa.  Problem-problem yang dihadapi seringkali berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis.  Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional,  banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan nasional”. Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini,  “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, diambil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat].  Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di sekolah

Kata kunci: Paradigma, Pendidikan dan politik pendidikan

A.  Pendahuluan
Jika kita lihat Salah satu dari rumusan tujuan negara Republik Indonesia yang dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, karena itu negara sangat bertanggung jawab terhadap terlaksananya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut. Berbagai upaya telah dirintis sejak awal Indonesia merdeka.
Upaya pertama, dibentuklah Kementerian Pendidikan dan Pengajaran, seterusnya pada tahun 1946 membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran, dan pada tahun 1947 mengadakan Kongres Pendidikan pertama di Solo, tahun 1947 Kongres Pendidikan kedua di Yogyakarta, dan pada tahun 1950 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 dengan nama Undang-Undang tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran (UUPP), tahun 1954 lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950, tahun 1961 lahir UU No. 22 Tahun 1961 tentang Pendidikan Tinggi, dan barulah pada tahun 1989 lahir Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diiringi dengan seperangkat Peraturan Pemerintah tentang itu, dan tahun 2003 lahirlah Undang-undang No. 20 Tahun 2003.
Kronologis ini perlu dicantumkan agar kita me-mahami bahwa kesungguhan pemerintah dalam menangani pendidikan telah tercermin sejak awal Indonesia merdeka.
Kendatipun sudah banyak kemajuan yang dicapai sejak Indonesia merdeka dalam dunia pendidikan, akan tetapi dalam banyak hal masih perlu dibenahi secara serius. Di antaranya adalah kualitas pendidikan, keter-kaitan pendidikan dengan dunia kerja (link and match), pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan lain sebagainya.
Setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad perjalanan bangsa ini, dirasakan bahwa pendidikan belum merupakan prioritas utama sehingga akibatnya dirasakan beberapa kesenjangan dalam kualitas manusia Indonesia. Pada zaman Presiden Soekarno berkuasa, prioritas utama tampaknya yang dipikirkan adalah masalah-masalah yang berkenaan dengan politik, mulai dari perang fisik dan diplomasi menghadapi Belanda, kemudian jatuh bangunnya kabinet, pemilihan umum pertama dan sidang-sidang konstituante yang selalu dead lock, selanjutnya muncul era konfrontasi dengan Malaysia serta tumbuhnya kekuatan komunis di Indonesia yang puncaknya melahirkan G-30 S PKI. Di era ini dunia pendidikan belum terpikirkan secara serius dan sungguh-sungguh.
Di era pemerintahan orde baru, pada zaman Presiden Soeharto berkuasa prioritas utama adalah pembangunan ekonomi, dengan titik tumpunya adalah pertumbuhan ekonomi. Dampak negatifnya menimbulkan berbagai hal yang berbau KKN, yang mengantarkan bangsa ini kepada krisis ekonomi dan moneter seperti yang dirasakan saat sekarang ini.

B. Pembahasan
1. Kebijakan  Pendidikan di Indonesia
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia.  Dengan ilustrasi ini, maka  baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman. [1]
 Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun 2003.  Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar, yakni; partama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualitas pendidikan, dan keempat, efesiensi pendidikan.  Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah [Nana Fatah Natsir, dalam Hujair AH. Sanaky]. [2] Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang faktor-faktor lain.  Artinya, pendidikan  sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
 Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan  yang merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan  yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan [accountasle] kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan,  [d] meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur [fleksibel] untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global. [3]
 Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia,  menilai bahwa kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti [Kompas, 4 September 2004]. Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efesiensi pendidikan, dan  pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
 Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan ideologi dan politik penguasa.  Problem-problem yang dihadapi seringkali berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis.  Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan nasional”. Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini,  “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat].  Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di sekolah” . [4]
 Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional.  Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan. 
Otonomi yang didasarkan pada   UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita,  yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
 Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu :  [1] perluasan dan pemerataan pendidikan. [2] meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4] memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa.
Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap benar menghadapi tantangan persaingan [Suyanto, 2006:11]. Sementara, disatu sisi,   “bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional. [5]
Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya.  Problem-problem pendidikan yang bersifat metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran terselubung. Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masing sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan berharap akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan di Indonesia. 

2. Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi
Pada saat reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan. [6] Sebab, sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya mewujudkan perubahan tersebut. Tetapi, kata Tilaar, pendidikan di Indonesia selama ini diatur dengan sistem pendidikan nasional yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Akibatnya, menghasilkan manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia. [7]
 Kebijakan pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman.  Dapat dikatakan bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan prasarana pendidikan diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari pusat, semuanya diseragamkan dari pusat.  Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak dapat berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Padahal, masyarakat  memiliki harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia , walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan tanggungjawab.  Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”, belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
 Pendidikan nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan. Dalam kenyataannya pelaksanaan pendidikan kita tidak demokratis, masih terdapat sekolah-sekolah atau perguruan negeri yang dikelola dan dibiayai pemerintah, dan sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan swasta yang dikelola oleh masyarakat dan dibiayai oleh masyarakat sendiri.  Perlakuan diskriminatif tersebut, secara psikologis terkesan bahwa “pendidikan” adalah milik pemerintah, dan bukan milik masyarakat.  Maka “semangat kebatinan” atau “jiwa” pendidikan telah lepas dari “jiwa masyarakat”. Banyak lembaga pendidikan formal - dari dasar sampai perguruan tinggi - yang menjadi komunitas atau kelompok tersendiri yang lepas dari masyarakatnya; mereka hanya mementingkan status formal, ijazah dan gelas, bahkan dewasa ini banyak terjadi perdagangan gelas, jenjang dan ijazah. [8]
 Tampaknya, kebijakan pendidikan nasional kita lebih berorientasi pada kepentingan pemerintah dan  bukan kepentingan pembelajar, pasar, dan pengguna jasa pendidikan atau masyarakat. Hal ini didasarkan pada dalih bahwa strategi pendidikan nasional adalah untuk membekali generasi muda agar mampu membawa bangsa dan negara ini cepat sejajar dengan bangsa dan negara lain yang lebih maju. Namun, dalam implikasi perkembangannya tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. [9]  Pendidikan yang seyogyanya dapat membebaskan “pembelajar” menjadi manusia untuh bermartabat, justru menjadi alat penyiksa. Ironis dan sungguh-sungguh sangat memprihatinkan.  Pendidikan yang ada telah tergilas atau terhanyut oleh kekuatan-kekuatan atau sistem-sistem yang lain sehingga secara pasti tidak memungkinkan arah perjalannya dapat menuju ke tujuan pendidikan nasional, apalagi ketercapaian dari tujuan pendidikan nasional itu. [10]
Dari gambaran di atas, mungkin saja, kita perlu berkaca pada pengalaman reformasi pendidikan di Amerika. Paling tidak ada dua aspek penting yang perlu menjadi titik perhatian di sini. Pertama; perencanaan pembangunan pendidikan harus bertitiktolak dari suatu penelitian dan penilaian nasional [national assessment] tentang status dan kondisi pendidikan yang didasarkan pada suatu standar dan ukuran kemajuan [benchmark] yang terbuka [accountable], sehingga publik dengan mudah mengikuti kemajuan pendidikan yang ada.  Kedua; perencanaan pembangunan pendidikan harus memiliki ajang pembahasan [ground] yang mampu meliput seluruh aspek dan permasalahan pendidikan secara tuntas [exhaustively], dengan ekspektasi yang terukur, baik secara normatif maupun kuantitatif. Perbandingan ukuran dapat secara internal ditentukan dengan kriteria tertentu, atau secara eksternal dibandingkan dengan kemajuan pendidikan negara-negara lain.
    Sementara untuk Indonesia, menurut beberapa pakar dan praktisi pendidikan, reformasi pendidikan dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” yang kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas pendidikan yang akan dicapai.  Akibatnya,  muncul berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita yang belum teratasi. Permasalahan tersebut antara lain kinerja yang tidak pas dengan tujuan umum pendidikan nasional, produk pendidikan yang belum siap pakai, atau tidak sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja, rangking pendidikan kita di mata dunia yang setara dengan negara-negara miskin atau baru merdeka. Dengan negara jiran Malaysia saja, kita sudah jauh ketinggalan. Dengan kata lain, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari filsafat dan tujuan pendidikan, manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan substansi pengajaran secara nasional, regional dan local  [Baca: Muhammad Yacub, From:http: //www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu_opinimengenaireformasis.htm,].
Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Sementara  secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya.  Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu dan memberdayakan, artinya pendidikan  mampu membuat “pembelajar” berhasil dalam kehidupan.  Maka, berbicara soal pendidikan adalah bicara “soal kualitas kehidupan “pembelajar”, soal kualitas sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain.  
Secara ideal, sebenarnya dunia pendidikan kita harus mampu berjalan beriringan dengan dunia luar. Akan tetapi, kendala utama yang dihadapi adalah komitmen pemerintah yang tidak terfokus pada preriotas dalam hal dana pendidikan baik pada masa lalu dan masa kini. Akibatnya idealisme tersebut masih jauh dari impian, jauh dari kenyataan dan hanya menjadi “mitos”.   Maka yang menjadi  persoalan sekarang apakah pemerintah atau bangsa Indonesia ini sadar bahwa pendidikan merupakan kunci utama untuk menghadapi persaingan dengan dunia luar.  Apakah pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki komitmen untuk menentukan sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi pembangunan bangsa dan negara ini. Apabila dilihat dari komitmen pemerintah Indonesia  menempatkan anggaran pendidikan dibawah standar yaitu 8% dalam anggaran belanja dan pendapatan negara [APBN] yang semestinya sebesar minimal 20% [baca: Suyanto, 2006:xi], bahkan semua komponen menghendaki, termasuk usulan dari pengurus besar PGRI agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari APBN [Ibrahim Musa, Ibid, From: http://202. 159. 18. 43/ jp/ 22 ibrahim.htm].
Sebab, anggaran pendidikan yang memadai untuk dapat menjadikan SDM bangsa Indonesia berkualitas setarap dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal impian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kesadaran pemerintah Indonesia atas masalah pendidikan sangat rendah dibandingkan perhatian pada sektor lain.
Dengan  rendahnya subsidi anggaran di bidang pendidikan menjadi indikator betapa bidang ini masih jauh dari “ruh” dan harapan reformasi.  Oleh karena itu, formula pembiayaan dan subsidi pendidikan yang “berkeadilan” berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang nyata, yaitu dengan memperhatikan jumlah “pembelajar”, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan tingkat partisipasi pendidikan. Katakan saja, semakin sulit komunikasi, semakin rendah tingkat kesejahteraan dan sumber pemasukan dana, maka semakin besar subsidi yang dibutuhkan.  Tingkat subsidi untuk sekolah di ibukota propinsi, kabupaten, dan desa adalah sebesar 25%, 50%, dan 75% hingga 100% untuk desa terpencil. Selanjutnya subsidi pendidikan untuk satu lembaga pendidikan diberikan sebagai satu paket block grant yang dapat digunakan oleh lembaga pendidikan sesuai kebutuhan, tidak dipilah-pilah menjadi anggaran rutin untuk gaji, sarana pendidikan, dan BOP/DBO yang penggunaannya diatur secara kaku berdasarkan Juklak dan Juknis dari Departemen [Ibrahim Musa:From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm,].
 Semua komponen bangsa mengakui bahwa pendidikan merupakan prioritas utama dalam pengembangan sumber daya manusia.  Tapi anggaran pendidikan hanya memperoleh alokasi sebesar 8% dalam anggaran belanja dan pendapatan negara [APBN]. Semuanya menghendaki agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari APBN. Anggaran pendidikan yang memadai untuk menjadikan SDM bangsa Indonesia setara dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal impian, hanya mitos. Dapat diperhatikan bahwa alokasi “anggaran pendidikan” seharusnya menjadi urutan utama untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia, tetapi kenyataan anggaran pendidikan selalu terkalahkan untuk kepentingan pembangunan sektor lain terutama untuk sektor ekonomi.

 3.  Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
 Pada era reformasi, masyarakat Indonesia  menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional , juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan. [11]
Pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional tidak dapat berperan sebagai penggerak dan “loko” pembangunan, bahkan Gass [1984] lewat tulisannya berjudul education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: cultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik. Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat “tambal sulam” [Erratic]. Pembaharuan pendidikan nasional yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.[12]
Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sektor pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan.  Sebab pendidikan bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan” lainnya [Baca: Ace Suryadi, From:http://www.kompas.com]. Mungkin saja, kita perlu menyimak kembali kata Prof.Proopert Lodge, yang dikutip Suyanto, mengatakan bahwa life is education, and education is life. Dari pernyataan Lodge itu mengisyaratkan bahwa, antara pendidikan dengan kehidupan hampir-hampir tidak dapat dibedakan sama sekali . [13] Dari pandangan ini, kita tidak heran, jika sering di sinyalir bahwa pendidikan sebagai faktor yang dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Maka pendidikan sering menerima akibat buruk dari berbagai perubahan yang terjadi.
Melalui paradigma baru tersebut, paling tidak pendidikan harus mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Bahkan, kalau memungkinkan, pendidikan dapat mengubahnya menjadi faktor yang dapat menggerakkan atau mengarahkan perubahan dalam lingkungan tersebut [Baca: Ace Suryadi, From: http://www.kompas.com].
Sebab, pendidikan dan kehidupan telah menyatu dalam sebuah kerangka filosofis, bahwa proses pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia.  Dengan dasar ini, maka pendidikan dipandang sebagai “katalisator” dan “loko”  yang dapat menyebabkan faktor-faktor lainnya berkembang. Hal ini memberikan aksentuasi betapa pembangunan pendidikan sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
  Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan [pemerintah] kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.  Dalam hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu.  Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita tidak mqmpu menjawab tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya, kemampuan [kompetensi] yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. [14]
 Dari pemikiran di atas, maka pengambil kebijakan pendidikan perlu memperhatikan berbagai persoalan yang sedang akan dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu, perlu ditempuh berbagai langkah baik dalam bidang manajemen, perencanaan, sampai pada praktis pendidikan ditingkat mikro. 
Mengingat Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang diartikan sebagai ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara. [15]
Berdasarkan pemahaman mendasar ini, politik pendidikan (siyâsah at-ta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, paradigma pendidikan di Indonesia pasca reformasi, dipengaruhi oleh kebijakan politik pendidikan pemerintah yang dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.

C.      PENUTUP
Berdasarkan data dan berbagai analisis yang terdapat pada uraian tersebut di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1.      Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia secara drastis, karenanya perubahan masyarakat sesuatu yang alami sifatnya sebagai suatu bagian dari proses dan dinamika perkembangan masyarakat. Sejak manusia berada di planet bumi ini telah terjadi banyak perubahan, termasuk dalam hal ini bidang pendidikan.
2.      Dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan adanya pendirian sebagai kebijakan idiologi yang mempunyai visi tertentu terhadap pendidikan. Kaitan dengan pendidikan secara bersamaan muncul permasalahan-permasalahan pendidikan yang perlu dicarikan pemecahannya, disinilah diperlukan kebijakan politik pendidikan yang memihak kepada kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia.


Daftar Pustaka


Ade Cahyana,  Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/ 26/ indonesia_ 2010_Ade_Cahyana. htm, sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10

Ahmad Zain Sarnoto, Konsepsi Politik Pendidikan di Indonesia, Jurnal
            EDUCHAILD, Volume 1 No.1 Ferbruari 2012, FKIP UNRI
Danim, Sudaman, Inovasi pendidikan dalam upaya peningkatan
            profesionalisme  tenaga kependidikan, Pustaka Cipta, Bandung,
            2002
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sisdiknas di Indonesia,
            (Jakarta: Kencana, 2004)

Diana Nomida Musnir, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta, 2000

Dedi Supriadi, Makna dan Implikasi Undang-undang Sisdiknas terhadap

            Pendidikan Anak Usia Dini, Buletin PADU Vol.2 No. 2, Agustus

            2003

Hujair AH Sanaky,., Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 2003
_____, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437, Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta
Ibrahim Musa,,  Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta,hlm.3
Onno W Purbo, Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From: http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.  1995
Suyanto & Djihad Hisyam,  Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. 2000
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 2006
Soedjiarto, "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa Indonesia", MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta. 1999
Tilaar, H.A.R., , Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang. 1998
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta. 2000


[1] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 2006, hlm. 11
[2] Hujair AH Sanaky,., Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 2003, hlm.146
[3] Ibid
[4] Suyanto, op. cit, hlm.xi
[5] Ibid, hlm.21
[6] Tilaar, H.A.R., , Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang. 1998, hlm. 25
[7] Hujair AH. Sanaky, op. cit. hlm. 3
[8] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta. 2003, hl. 32-33
[9] Ibid, hlm. 33
[10] Diana Nomida Musnir, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 71
[11] Hujair AH. Sanaky, op. cit, hlm. 3
[12] Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta. 2000, hlm.5-6
[13] Suyanto, op.cit. hlm. ix
[14] Zamroni, op. cit, hlm. 6
[15] Ahmad Zain Sarnoto, Konsepsi Politik Pendidikan di Indonesia, Jurnal EDUCHAILD, Volume 1 No.1 Ferbruari 2012, hlm. 32