Kamis, 22 Agustus 2013

PENDIDIKAN DI INDONESIA GAGAL MEMBENTUK BANGSA YANG BERKARAKTER



1.      Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan Indonesia saat ini tengah menghadapi problematika yang sangat kompleks dan menuntut pembenahan yang seksama. Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia cerdas yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Namun, saat ini yang terlihat justru adalah tingkat kriminalitas anak-anak dan remaja sangat tinggi dan jumlah mereka yang masuk penjara lebih dari satu juta orang (Harry Hikmat, Direktur Anak Depsos, Waspada, 11 Maret 2009). Dari 13 penjara yang pernah dikunjungi Meutia Hatta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, mengatakan 80 persen penyebab mereka ditahan adalah karena pencabulan dan pelecehan seksual. Data di RSCM Jakarta, kekerasan seksual yang menimpa anak-anak usia dibawah 18 tahun sejak Juni 2000 hingga Juni 2005 mencapai 1200 kasus, pencabulan anak laki-laki 68 kasus. Korban umumnya dibawah usia 16 tahun,belum ngerti perilaku seksual. Survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 terdapat lebih dari 80 persen anak usia 9-12 tahun di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, telah mengakses situs porno. Kasus aborsi di Indonesia 2,2 juta tiap tahun atau setiap 15 detik seorang calon bayi di negeri ini meninggal dunia.
Televisi juga mengancam sekitar 60 juta anak Indonesia. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak tahun 2002 di Jakarta menemukan anak-anak menghabiskan sekitar 30-35 jam di depan TV selama seminggu atau setahun 1560-1820 jam, angka ini jauh lebih besar dari jam belajar anak di SD yang tidak sampai 1000 jam setahun. Apa yang mereka tonton? Ya, tayangan yang menampilkan ketelanjangan dan ataupun yang mengesankan ketelanjangan (Sabili, No.08, 6 Nopember 2008). Selain itu, para remaja saat ini tidak merasa bersalah jika berbohong, rasa hormat yang rendah kepada orang tua dan guru, pecandu narkoba dan minuman keras, sering bolos sekolah, tidak mengerjakan PR , memalak teman sekelas dan sebagainya. Dan lebih jauh lagi, pendidikan yang kini tumbuh berkembang dengan pesat, justru berefek melahirkan banyaknya koruptor. Memang tidak semua koruptor, tetapi mereka-mereka para pelaku korupsi justru orang-orang yang pada umumnya sudah menyandang berbagai gelar pendidikan. Lihat saja data dari Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara terkorup di dunia.
Melihat dari kondisi Indonesia saat ini, maka proses perbaikannya tidak dapat dilakukan dengan cara dan waktu yang singkat. Ia membutuhkan serangkaian tahapan dan proses yang terus-menerus. Salah satunya adalah melalui perbaikan pada kualitas pendidikan di negara ini. Karena tujuan pendidikan adalah menghasilkan manusia berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Namun, dengan melihat hasil yang dicapai secara kualitas akhlak, maka dapat disimpulakn bahwa secara garis besar pendidikan bangsa ini telah gagal membentuk akhlak manusia yang luhur dan mulia.
2.      Deskripsi Sistem Pendidikan di Indonesia
Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kemudian berdasarkan laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara ditambah wilayah khusus Hong Kong dan wilayah pendudukan Palestina yang diteliti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Data yang termuat dalam situs http://www.undp.org/hdr2004 terasa menyakitkan jika posisi Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suara pembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
Pendidikan di Indonesia sangat tidak memperhatikan aspek afektif (merasa), emosi, sosial dan spiritual sehingga anak didik hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar yang melibatkan aspek kognitif (hafalan) tetapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Orientasi belajar di sekolah yang hanya ditujukan untuk mendapatkan nilai dan lulus ujian, telah menumbuhkan sikap ketidakjujuran dan menyuburkan budaya menyontek pada siswa. Selain kecurangan para siswa, ujian nasional pun tidak bebas dari praktik manipulasi, guru yang mengisi soal yang sengaja dikosongkan, atau negosiasi antara kepala sekolah dengan panitia ujian nasional. Praktik ketidakjujuran seperti ini nantinya dapat berkembang menjadi perilaku korupsi publik yang telah membudaya di Indonesia.
Selain itu, dengan adanya tuntutan NEM yang tinggi, pihak sekolah akan menekan para siswa dengan banyak latihan dan hafalan, serta PR yang menumpuk, yang akan membuat para murid stres, dan proses belajar menjadi tidak efektif. Biasanya hanya siswa yang ber-IQ di atas 115 saja yang mampu mengikutinya (tidak lebih dari 15 persen penduduk), sehingga dapat membuat sebagian besar siswa merasa bodoh dan tidak percaya diri.
Sebagai tambahan, banyaknya jumlah mata pelajaran yang harus dikuasai oleh para siswa di usia awal mereka masuk sekolah juga menjadi masalah. Padahal pada tahap awal usia mereka di sekolah seharusnya mereka lebih banyak diberi waktu bermain dan bereksplorasi.
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Namun pada kenyataannya, realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah yang berimbas pada mahalnya biaya pendidikan serta kondisi sarana dan prasana di tiap sekolah berbeda mengakibatkan kualitas pendidikan yang dihasilkan berbeda pula.
Masalah berikutnya adalah sistem pendidikan yang top-down atau dari atas kebawah. Freire menyebutnya dengan banking-system. Dalam artian peserta didik dianggap sebagai safe-deposit-box dimana guru mentransfer bahan ajar kepada peserta didik. Dan sewaktu-waktu jika itu diperlukan maka akan diambil dan dipergunakan. Jadi peserta didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba untuk berpikir lebih jauh tentang apa yang diterimanya, atau minimal terjadi proses seleksi kritis tentang bahan ajar yang ia terima. Dalam istilah bahasa arab pendidikan seperti ini dikatakan sebagai taqlid. Artinya menerima atau mengikuti apa saja yang dikatakan oleh para pendidik. Dan ini tidak sejalan dengan substansi pendidikan yang membebaskan manusia (Ki Hajar Dewantara).
3.       Dampak dari Sistem Pendidikan di Indonesia dalam Membentuk
Bangsa Berkarakter
Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi) saja.
Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa yang sering hanya diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi atau ukuran IQ). Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena berdasarkan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya.
Hukum alam selalu menunjukkan bahwa di mana pun manusia di muka bumi ini, yang memiliki IQ di atas angka 120 tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Namun sebaliknya, sebagian besar mereka yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik (ilmuwan, pemikir, dan ahli strategis), tetapi dimensi-dimensi lainnya, misalnya pekerjaan teknisi, musisi, manual (motorik), artis, atau hal-hal lain yang sifatnya lebih konkrit.
Menurut Thurow, dalam hal kualitas produksi, negara Amerika Serikat (AS) kalah dengan Jepang karena strategi pendidikan di Jepang lebih mementingkan bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan profesional -yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. Berbeda dengan AS yang lebih mementingkan 10 persen siswa terpandai, strategi pendidikan Jepang justru sebaliknya, yaitu terutama menyiapkan 50 persen siswa terbawah (dalam skala IQ) untuk menjadi tenaga kerja yang handal. Sedangkan mereka yang sangat tinggi kemampuan akademisnya (yang populasinya tidak lebih dari 15 persen), akan masuk ke jenjang perguruan tinggi setelah menempuh ujian saringan perguruan tinggi yang sangat sulit. Dengan strategi seperti ini, maka terlihat bahwa sistem pendidikan di Jepang, terutama pendidikan dasar dianggap relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-anak. Berbeda halnya dengan Indonesia, sistem pendidikan di negara justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi ilmuwan dan pemikir (filsuf), sehingga seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya, sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa terpandai saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115.
Memang diakui sistem pendidikan seperti ini juga memiliki dampak positif yang terlihat dari beberapa siswa Indonesia yang dapat berprestasi mendapatkan hadiah olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1 persen tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa Indonesia).
Sedangkan untuk para siswa yang memiliki potensi (IQ) hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapa pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, tentu hasilnya akan lebih baik.
Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia terjun bebas, yaitu berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah (nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam. Sedangkan, hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34.
Jika dibandingkan dengan Jepang dan Jerman, mereka mempunyai strategi utama untuk mencetak tenaga kerja handal, yaitu dengan mendidik 60 persen penduduk terbawah dengan pendidikan keterampilan. Di sisi lain, mereka tetap menyadari bahwa untuk mencetak manusia yang menguasai IPTEK hingga mampu menciptakan teknologi baru, perlupendidikan yang tepat bagi 15 persen terpandai (brain power) sehingga mereka siap masuk ke jenjang perguruan tinggi.
Selain itu, metode pembelajaran di kelas banyak yang menyalahi teori-teori perkembangan anak. Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem ranking di sekolah), sehingga sempurnalah pencetakan SDM Indonesia yang berada di urutan terbawah; tidak bisa bekerja, tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter. Mereka tumbuh dikondisikan oleh sebuah sistem yang salah. Aspirasi siswa yang keliru sejak dini sudah terbentuk, yaitu tidak menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan ketekunan. Dalam hal ini, termasuk juga mereka yang memasuki sekolah kejuruan (SMK), yang umumnya tidak mempunyai gairah untuk mencintai bidang keterampilannya karena merasa dicap bodoh, terlebih jika lingkungannya menganggap bahwa simbol keberhasilan adalah memiliki gelar kesarjanaan bukan memiliki keterampilan kerja.
Selain itu sistem pendidikan yang lebih berfokus pada kecerdasan afektif mengakibatkan anak tidak berkembang dalam hal karakter. Standar kelulusan yang tinggi tanpa dibarengi kesiapan pada sistemnya mengakibatkan ketidakjujuran menjadi pilihan yang harus diambil bagi para siswa yang tidak siap secara intelektual maupun mental. Banyaknya beban pelajaran dan keharusan mereka menguasai mata pelajaran yang sebenarnya tidak mereka minati berefek pada kejenuhan. Sehingga, tidak sedikit di antara para siswa yang akhirnya tidak memiliki fokus keahlian.
Peran para guru di sekolah yang seharusnya tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai pengajar ternyata tidak cukup sabar untuk mengembangkan emosi dan kemampuan peserta didik untuk memahami orang lain. Dengan kata lain pendidikan nilai, kepribadian atau watak atau afektif kurang diperhatikan atau malah tidak dikembangkan di sekolah-sekolah kita. Artinya tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, cerdas, trampil, berbudi pekerti luhur, mandiri dst masih diabaikan atau dicuekin. Akibatnya anak-anak suka tawuran /berkelahi, sering bolos sekolah, candu narkoba, suka nonton film porno, tidak santun kepada orng tua ataupun guru dan sebagainya.
4.      Solusi yang Dapat Dilakukan untuk Memperbaiki Kualitas Pendidikan di Indonesia dalam Membentuk Bangsa Berkarakter
Dengan mengacu kepada Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 1, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa, dan negara, maka sistem pendidikan yang dijalankan seharusnya adalah sistem pendidikan yang memberikan output yang seimbang pada dimensi intelektual, emosional, social dan spiritual. Selain itu pemerintah perlu mengevaluasi kurikulum atau mata pelajaran yang diberikan kepada para siswa. Bagi anak-anak yang baru duduk di bangku sekolah dasar, diharapkan mereka tidak terlalu dipaksa untuk menguasai beban pelajaran yang sangat banyak.
Terkait dengan kurikulum, maka sebagai alternative perlu menggunakan kurikulum berkarakter atau Kurikulum Holistik Berbasis Karakter (Character-based Integrated Curriculum), yang merupakan kurikulum terpadu yang menyentuhsemua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik). Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry dimana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan cara mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang. Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan alami-natural-nyata-dekat dengan diri anak, dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan/sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat model-model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran.
Selebihnya, kita juga perlu belajar dari Jepang dan Jerman mempunyai strategi utama untuk mencetak tenaga kerja handal. Artinya diperlukan strategi yang berbeda bagi anak yang memiliki potensi IQ yang tinggi dan bagi anak yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik. Bagi anak yang memiliki potensi IQ tinggi, mereka difokuskan pada persiapan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, bagi anak yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik maka kepada mereka diberikan peluang dan apresiasi sebesar-besarnya agar dapat mengembangkan potensi mereka sesuai bidang yang mereka minati.
Terakhir, peran pemerintah selain sebagai pengambil kebijakan dalam sistem pendidikan, masalah anggaran pendidikan dan penyediaan sarana dan prasarana juga penting untuk mendapat perhatian untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Dan, peran keluarga dalam upaya membentuk sumber daya manusia Indonesia yang berkarakter juga sangat penting. Karena keluarga sejatinya adalah dasar bagi tempat pembentukan nilai-nilai dalam upaya pembentukan karakter anak.
5. Kesimpulan
Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia masih memiliki banyak sekali kekurangan. Sistem pendidikan yang diterapkan lebih berorientasi pada hasil bukan pada proses. Dimensi kecerdasan yang lebih dikembangkan di sekolah adalah dimensi akademis yang meliputi aspek kognitif (hafalan) dan cenderung mengabaikan aspek afektif (merasa), emosi dan spiritual anak. Akibatnya, sistem seperti ini hanya dapat memberikan output positif bagi anak yang memiliki potensi IQ tinggi. Sedangkan bagi mereka yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademis cenderung tidak berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
[DIKNAS] Departemen Pendidikan Nasional. Sistem Pendidikan Nasional. http://www.depdiknas.go.id. [17 Desember 2009]
Djamarah S, Aswan Z. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[KALAM] Kajian Islam Universitas Pendidikan Indonesia. 2006. Sistem Pendidikan Indonesia Gagal. http://forum.upi.edu. [17 Desember 2009].
Kesuma AT. 2006. Sistem Pendidikan Indonesia Memperihatinkan. http://re-searchengines.com. [17 Desember 2009].
[KM] Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung. 2008. Pendidikan di Indonesia. http://www.km.itb.ac.id.%5B17 Desember 2009].
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesian Heritage Foundation.
Nasution F. 2009. Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2009 Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak Bangsa. http://www.dprd-diy.go.id. [17 Desember 2009].
[PII] Pelajar Islam Indonesia. 2009. Pendidikan Berkarakter Adalah Solusi. http://pelajar-islam.or.id. [17 Desember 2009].
Sholeh M. 2005. Politik Pendidikan, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.
Widagdo B. 2009. Revitalisasi Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.hupelita.com. [17 Desember 2009].