Abstrak:
Proses menuju
perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi
ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan
ideologi dan politik penguasa. Problem-problem yang dihadapi seringkali
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies]
yang sangat strategis. Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah,
dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan
nasional”. Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan
rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka
waktu tertentu. Hal ini, “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan
nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, diambil dari APBN dan APBD [pasal
31 ayat 4 UUD Amandemen keempat]. Tetapi, sampai sekarang kebijakan
strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih
menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap
pendidikan di sekolah
Kata kunci: Paradigma,
Pendidikan dan politik pendidikan
A. Pendahuluan
Jika kita lihat Salah
satu dari rumusan tujuan negara Republik Indonesia yang dicantumkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, karena
itu negara sangat bertanggung jawab terhadap terlaksananya upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa tersebut. Berbagai upaya telah dirintis sejak awal Indonesia
merdeka.
Upaya
pertama, dibentuklah Kementerian Pendidikan dan Pengajaran, seterusnya pada tahun
1946 membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran, dan pada tahun
1947 mengadakan Kongres Pendidikan pertama di Solo, tahun 1947 Kongres
Pendidikan kedua di Yogyakarta, dan pada tahun 1950 lahirlah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1950 dengan nama Undang-Undang tentang Dasar Pendidikan dan
Pengajaran (UUPP), tahun 1954 lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954
tentang pernyataan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950, tahun 1961 lahir UU No. 22
Tahun 1961 tentang Pendidikan Tinggi, dan barulah pada tahun 1989 lahir
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang kemudian diiringi dengan seperangkat Peraturan Pemerintah tentang itu, dan
tahun 2003 lahirlah Undang-undang No. 20 Tahun 2003.
Kronologis
ini perlu dicantumkan agar kita me-mahami bahwa kesungguhan pemerintah dalam
menangani pendidikan telah tercermin sejak awal Indonesia merdeka.
Kendatipun
sudah banyak kemajuan yang dicapai sejak Indonesia merdeka dalam dunia
pendidikan, akan tetapi dalam banyak hal masih perlu dibenahi secara serius. Di
antaranya adalah kualitas pendidikan, keter-kaitan pendidikan dengan dunia
kerja (link and match), pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
lain sebagainya.
Setelah Indonesia merdeka lebih
dari setengah abad perjalanan bangsa ini, dirasakan bahwa pendidikan belum
merupakan prioritas utama sehingga akibatnya dirasakan beberapa kesenjangan
dalam kualitas manusia Indonesia. Pada zaman Presiden Soekarno berkuasa,
prioritas utama tampaknya yang dipikirkan adalah masalah-masalah yang
berkenaan dengan politik, mulai dari perang fisik dan diplomasi menghadapi
Belanda, kemudian jatuh bangunnya kabinet, pemilihan umum pertama dan
sidang-sidang konstituante yang selalu dead lock, selanjutnya muncul era
konfrontasi dengan Malaysia serta tumbuhnya kekuatan komunis di Indonesia yang
puncaknya melahirkan G-30 S PKI. Di era ini dunia pendidikan belum
terpikirkan secara serius dan sungguh-sungguh.
Di era pemerintahan orde baru,
pada zaman Presiden Soeharto berkuasa prioritas utama adalah pembangunan
ekonomi, dengan titik tumpunya adalah pertumbuhan ekonomi. Dampak negatifnya
menimbulkan berbagai hal yang berbau KKN, yang mengantarkan bangsa ini kepada
krisis ekonomi dan moneter seperti yang dirasakan saat sekarang ini.
B.
Pembahasan
1. Kebijakan Pendidikan di
Indonesia
Proses pendidikan merupakan upaya
sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti
melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem
peradaban dan budaya manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik
pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar
kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang
dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat
menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman.
Indonesia, telah memiliki
sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU No. 20 tahun
2003. Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan
empat strategi dasar, yakni; partama, pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga,
peningkatan kualitas pendidikan, dan keempat, efesiensi
pendidikan. Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi dua dimensi
yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas
pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan diharapkan dapat
memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia
sekolah [Nana Fatah Natsir, dalam Hujair AH. Sanaky].
Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang
faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai upaya pengembangan
sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu
bangsa.
Untuk menjamin kesempatan
memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok strata dan wilayah
tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu strategi
dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan yang
relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam
menghadapi tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan [accountasle] kepada masyarakat sebagai pemilik
sumberdaya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan
proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak
mengorbankan mutu pendidikan, [d] meningkatkan efisiensi internal dan
eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi peluang
yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi
program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f]
secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam implementasi
sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur
[fleksibel] untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan
masyarakat dalam lingkungan global.
Empat strategi dasar
kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi Muchtar
Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa kebijakan
pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan
yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 %
anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti [Kompas, 4 September
2004]. Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi
pendidikan, efesiensi pendidikan, dan pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi
ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM
yang semakin merata di berbagai daerah.
Proses menuju perubahan
sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius. Apalagi ketika
membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari pergumulan
ideologi dan politik penguasa. Problem-problem yang dihadapi seringkali
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat
strategis. Maka, dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut
Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap
tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi sistem pendidikan nasional”.
Artinya, kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan
permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu.
Hal ini, “terutama berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional yang
semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD
Amandemen keempat]. Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi belum
dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan
kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di
sekolah” .
Pasca Reformasi tahun 1998,
memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional.
Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang
sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan
otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem
pendidikan kita. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi.
Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak
membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih
sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum
terselesaikan.
Otonomi yang didasarkan
pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan
atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan
desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam
suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan
insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi
dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999,
juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan
sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna
memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas,
sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek
dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
Untuk mewujudkan misi
tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu : [1]
perluasan dan pemerataan pendidikan. [2] meningkatkan kemampuan akademik dan
profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan pembaharuan
dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4]
memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam
realisasi pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip
desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan
efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga
membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam
seluruh komponen bangsa.
Persoalan sekarang, apakah sistem
pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di
tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara
kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap benar menghadapi
tantangan persaingan [Suyanto, 2006:11]. Sementara, disatu sisi,
“bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita
masih melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara
nasional maupun regional.
Berbagai problem fundamental yang
dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas”
pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum,
strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih
sangat rendah kualitasnya. Problem-problem pendidikan yang bersifat
metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan.
Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada
orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat
mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah
mengenyam pendidikan, malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya,
setiap tahunnya, pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran terselubung.
Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang
masing sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang
berpendidikan, tentu saja terus atau banyakan berharap akan datangnya perubahan
“fundamental” terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
2. Pengalaman Pendidikan Pasca
Reformasi
Pada
saat reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan
dalam semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan.
Sebab, sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam
upaya mewujudkan perubahan tersebut. Tetapi, kata Tilaar, pendidikan di
Indonesia selama ini diatur dengan sistem pendidikan nasional yang sangat erat
kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Akibatnya, menghasilkan
manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak kritis, bertindak dan berpikir dalam
acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan kelompok
kecil rakyat Indonesia.
Kebijakan
pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman. Dapat dikatakan bahwa
selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di
pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan prasarana pendidikan
diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari pusat, semuanya
diseragamkan dari pusat. Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif
tidak tahu dan tidak dapat berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak
mereka. Padahal, masyarakat memiliki harapan dan dampak terhadap upaya
pendidikan di Indonesia , walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status
sosial, peranan dan tanggungjawab. Hal yang sangat ironis lagi, adalah
menempatkan pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan
diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”, belum
menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan
pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
Pendidikan
nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang
diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk
belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan. Dalam kenyataannya
pelaksanaan pendidikan kita tidak demokratis, masih terdapat sekolah-sekolah
atau perguruan negeri yang dikelola dan dibiayai pemerintah, dan
sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan swasta yang dikelola oleh masyarakat
dan dibiayai oleh masyarakat sendiri. Perlakuan diskriminatif tersebut, secara
psikologis terkesan bahwa “pendidikan” adalah milik pemerintah, dan bukan milik
masyarakat. Maka “semangat kebatinan” atau “jiwa” pendidikan telah lepas
dari “jiwa masyarakat”. Banyak lembaga pendidikan formal - dari dasar sampai
perguruan tinggi - yang menjadi komunitas atau kelompok tersendiri yang lepas
dari masyarakatnya; mereka hanya mementingkan status formal, ijazah dan gelas,
bahkan dewasa ini banyak terjadi perdagangan gelas, jenjang dan ijazah.
Tampaknya,
kebijakan pendidikan nasional kita lebih berorientasi pada kepentingan
pemerintah dan bukan kepentingan pembelajar, pasar, dan pengguna jasa
pendidikan atau masyarakat. Hal ini didasarkan pada dalih bahwa strategi
pendidikan nasional adalah untuk membekali generasi muda agar mampu membawa
bangsa dan negara ini cepat sejajar dengan bangsa dan negara lain yang lebih
maju. Namun, dalam implikasi perkembangannya tidak sesuai dengan apa yang
dicita-citakan.
Pendidikan yang seyogyanya dapat membebaskan “pembelajar” menjadi manusia untuh
bermartabat, justru menjadi alat penyiksa. Ironis dan sungguh-sungguh sangat
memprihatinkan. Pendidikan yang ada telah tergilas atau terhanyut oleh
kekuatan-kekuatan atau sistem-sistem yang lain sehingga secara pasti tidak
memungkinkan arah perjalannya dapat menuju ke tujuan pendidikan nasional,
apalagi ketercapaian dari tujuan pendidikan nasional itu.
Dari
gambaran di atas, mungkin saja, kita perlu berkaca pada pengalaman reformasi
pendidikan di Amerika. Paling tidak ada dua aspek penting yang perlu menjadi
titik perhatian di sini. Pertama; perencanaan pembangunan pendidikan
harus bertitiktolak dari suatu penelitian dan penilaian nasional [national
assessment] tentang status dan kondisi pendidikan yang didasarkan pada
suatu standar dan ukuran kemajuan [benchmark] yang terbuka [accountable],
sehingga publik dengan mudah mengikuti kemajuan pendidikan yang ada. Kedua;
perencanaan pembangunan pendidikan harus memiliki ajang pembahasan [ground]
yang mampu meliput seluruh aspek dan permasalahan pendidikan secara tuntas [exhaustively],
dengan ekspektasi yang terukur, baik secara normatif maupun kuantitatif.
Perbandingan ukuran dapat secara internal ditentukan dengan kriteria tertentu,
atau secara eksternal dibandingkan dengan kemajuan pendidikan negara-negara
lain.
Sementara
untuk Indonesia, menurut beberapa pakar dan praktisi pendidikan, reformasi
pendidikan dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” yang
kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas pendidikan yang
akan dicapai. Akibatnya, muncul berbagai masalah dalam dunia
pendidikan kita yang belum teratasi. Permasalahan tersebut antara lain kinerja
yang tidak pas dengan tujuan umum pendidikan nasional, produk pendidikan yang
belum siap pakai, atau tidak sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja,
rangking pendidikan kita di mata dunia yang setara dengan negara-negara miskin
atau baru merdeka. Dengan negara jiran Malaysia saja, kita sudah jauh
ketinggalan. Dengan kata lain, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang
aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia
pendidikan mulai dari filsafat dan tujuan pendidikan, manajemen pendidikan,
kurikulum, metode pembelajaran, dan substansi pengajaran secara nasional,
regional dan local [Baca: Muhammad Yacub, From:http: //www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu_opinimengenaireformasis.htm,].
Sistem
pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum,
manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan
dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Sementara
secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka
panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa
depannya. Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak
tahuan menjadi tahu dan memberdayakan, artinya pendidikan mampu membuat
“pembelajar” berhasil dalam kehidupan. Maka, berbicara soal pendidikan
adalah bicara “soal kualitas kehidupan “pembelajar”, soal kualitas sumberdaya
manusia [SDM], yang akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa
Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain.
Secara
ideal, sebenarnya dunia pendidikan kita harus mampu berjalan beriringan dengan
dunia luar. Akan tetapi, kendala utama yang dihadapi adalah komitmen pemerintah
yang tidak terfokus pada preriotas dalam hal dana pendidikan baik pada masa
lalu dan masa kini. Akibatnya idealisme tersebut masih jauh dari impian, jauh
dari kenyataan dan hanya menjadi “mitos”. Maka yang menjadi
persoalan sekarang apakah pemerintah atau bangsa Indonesia ini sadar bahwa
pendidikan merupakan kunci utama untuk menghadapi persaingan dengan dunia
luar. Apakah pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki komitmen untuk
menentukan sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi pembangunan bangsa dan
negara ini. Apabila dilihat dari komitmen pemerintah Indonesia
menempatkan anggaran pendidikan dibawah standar yaitu 8% dalam anggaran belanja
dan pendapatan negara [APBN] yang semestinya sebesar minimal 20% [baca:
Suyanto, 2006:xi], bahkan semua komponen menghendaki, termasuk usulan dari
pengurus besar PGRI agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari APBN [Ibrahim
Musa, Ibid, From: http://202. 159. 18. 43/ jp/ 22 ibrahim.htm].
Sebab,
anggaran pendidikan yang memadai untuk dapat menjadikan SDM bangsa Indonesia
berkualitas setarap dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya
tinggal impian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kesadaran
pemerintah Indonesia atas masalah pendidikan sangat rendah dibandingkan
perhatian pada sektor lain.
Dengan
rendahnya subsidi anggaran di bidang pendidikan menjadi indikator betapa bidang
ini masih jauh dari “ruh” dan harapan reformasi. Oleh karena itu, formula
pembiayaan dan subsidi pendidikan yang “berkeadilan” berdasarkan kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan yang nyata, yaitu dengan memperhatikan jumlah
“pembelajar”, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan
tingkat partisipasi pendidikan. Katakan saja, semakin sulit komunikasi, semakin
rendah tingkat kesejahteraan dan sumber pemasukan dana, maka semakin besar
subsidi yang dibutuhkan. Tingkat subsidi untuk sekolah di ibukota
propinsi, kabupaten, dan desa adalah sebesar 25%, 50%, dan 75% hingga 100%
untuk desa terpencil. Selanjutnya subsidi pendidikan untuk satu lembaga
pendidikan diberikan sebagai satu paket block grant yang dapat digunakan
oleh lembaga pendidikan sesuai kebutuhan, tidak dipilah-pilah menjadi anggaran
rutin untuk gaji, sarana pendidikan, dan BOP/DBO yang penggunaannya diatur
secara kaku berdasarkan Juklak dan Juknis dari Departemen [Ibrahim
Musa:From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm,].
Semua
komponen bangsa mengakui bahwa pendidikan merupakan prioritas utama dalam
pengembangan sumber daya manusia. Tapi anggaran pendidikan hanya
memperoleh alokasi sebesar 8% dalam anggaran belanja dan pendapatan negara
[APBN]. Semuanya menghendaki agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari
APBN. Anggaran pendidikan yang memadai untuk menjadikan SDM bangsa Indonesia
setara dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal impian,
hanya mitos. Dapat diperhatikan bahwa alokasi “anggaran pendidikan” seharusnya
menjadi urutan utama untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia, tetapi
kenyataan anggaran pendidikan selalu terkalahkan untuk kepentingan pembangunan
sektor lain terutama untuk sektor ekonomi.
3. Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
Pada
era reformasi, masyarakat Indonesia menginginkan perubahan dalam semua
aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam penyusunan
konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan
paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat
tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki peran
strategis dan fungsional , juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan
pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.
Pengalaman
selama ini menunjukkan, pendidikan nasional tidak dapat berperan sebagai
penggerak dan “loko” pembangunan, bahkan Gass [1984] lewat tulisannya berjudul education
versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat
pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan:
cultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya
pengangguran terdidik. Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di
atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional yang sangat mendasar,
sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat
“tambal sulam” [Erratic]. Pembaharuan pendidikan nasional yang mendasar
dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran
pendidikan dalam pembangunan.
Paradigma tersebut harus
berimplikasi pada perubahan perspektif dalam
pembangunan pendidikan, mulai dari
perspektif yang menganggap pendidikan
sebagai sektor pelayanan umum ke perspektif pendidikan
sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang
kehidupan. Sebab pendidikan
bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan” lainnya [Baca: Ace Suryadi,
From:http://www.kompas.com]. Mungkin saja, kita perlu menyimak kembali kata
Prof.Proopert Lodge, yang dikutip Suyanto, mengatakan bahwa life is
education, and education is life. Dari pernyataan Lodge itu mengisyaratkan
bahwa, antara pendidikan dengan
kehidupan hampir-hampir tidak dapat dibedakan sama sekali .
Dari pandangan ini, kita tidak heran, jika sering di sinyalir bahwa pendidikan sebagai faktor yang
dipengaruhi oleh berbagai permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Maka pendidikan sering menerima akibat buruk dari berbagai perubahan
yang terjadi.
Melalui paradigma baru tersebut,
paling tidak pendidikan harus
mampu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan. Bahkan,
kalau memungkinkan, pendidikan
dapat mengubahnya menjadi faktor yang dapat menggerakkan atau mengarahkan
perubahan dalam lingkungan
tersebut [Baca: Ace Suryadi, From: http://www.kompas.com].
Sebab, pendidikan dan kehidupan telah menyatu dalam sebuah kerangka filosofis, bahwa proses pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia. Dengan dasar
ini, maka pendidikan dipandang
sebagai “katalisator” dan “loko” yang dapat menyebabkan faktor-faktor
lainnya berkembang. Hal ini memberikan aksentuasi betapa pembangunan pendidikan sebagai upaya pengembangan
sumber daya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan
[pemerintah] kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun
metodologis. Dalam hal ini,
tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan
kemampuan individu. Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja yang
semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan
kita tidak mqmpu menjawab tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya,
kemampuan [kompetensi] yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dari pemikiran di atas,
maka pengambil kebijakan pendidikan
perlu memperhatikan berbagai persoalan yang sedang akan dihadapi bangsa ini.
Oleh karena itu, perlu ditempuh berbagai langkah baik dalam bidang manajemen, perencanaan, sampai pada praktis pendidikan ditingkat mikro.
Mengingat Pendidikan merupakan
bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi
oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan
perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang
diartikan sebagai ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan urusan rakyat)
berdasarkan ideologi yang diemban negara.
Berdasarkan pemahaman mendasar
ini, politik pendidikan (siyâsah at-ta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh
ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang
menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, paradigma
pendidikan di Indonesia pasca reformasi, dipengaruhi oleh kebijakan politik
pendidikan pemerintah yang dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang
negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia)
yang dicita-citakan.
C.
PENUTUP
Berdasarkan data dan
berbagai analisis yang terdapat pada uraian tersebut di atas, kiranya dapat
diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia
secara drastis, karenanya perubahan masyarakat sesuatu yang alami sifatnya
sebagai suatu bagian dari proses dan dinamika perkembangan masyarakat. Sejak
manusia berada di planet bumi ini telah terjadi banyak perubahan, termasuk
dalam hal ini bidang pendidikan.
2.
Dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan
adanya pendirian sebagai kebijakan idiologi yang mempunyai visi tertentu
terhadap pendidikan. Kaitan dengan pendidikan secara bersamaan muncul
permasalahan-permasalahan pendidikan yang perlu dicarikan pemecahannya,
disinilah diperlukan kebijakan politik pendidikan yang memihak kepada
kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia.
Daftar
Pustaka
Ahmad Zain
Sarnoto, Konsepsi Politik Pendidikan di
Indonesia, Jurnal
EDUCHAILD, Volume 1 No.1 Ferbruari
2012, FKIP UNRI
Danim,
Sudaman, Inovasi pendidikan dalam upaya
peningkatan
profesionalisme tenaga kependidikan, Pustaka
Cipta, Bandung,
2002
Haidar Putra Daulay, Pendidikan
Islam dalam Sisdiknas di Indonesia,
(Jakarta:
Kencana, 2004)
Diana Nomida Musnir, Arah
Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata
[editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi,
Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta, 2000
Dedi
Supriadi, Makna dan Implikasi
Undang-undang Sisdiknas terhadap
Pendidikan
Anak Usia Dini, Buletin PADU Vol.2 No. 2,
Agustus
2003
Hujair
AH Sanaky,., Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 2003
_____,
2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437, Jurusan
Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta
Kelompok
Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan
Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 1999, Jakarta,hlm.3
Paulo
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES,
Jakarta. 1995
Suyanto
& Djihad Hisyam, Refleksi dan
Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya
Nusa, Yogyakarta. 2000
Suyanto,
Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global],
PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 2006
Soedjiarto,
"Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai
Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa
Indonesia", MAKALAH, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta. 1999
Tilaar,
H.A.R., , Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21, Tera Indonesia, Magelang. 1998
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura,
Yogyakarta. 2000
Tilaar, H.A.R.,
, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera
Indonesia, Magelang. 1998, hlm. 25
Ahmad Zain Sarnoto, Konsepsi Politik
Pendidikan di Indonesia, Jurnal EDUCHAILD, Volume 1 No.1 Ferbruari 2012, hlm. 32