Akhir-akhir ini banyak elemen masyarakat yang mulai peduli
terhadap masa depan anak, sehingga banyak bermunculan kelompok bermain untuk
pendidikan anak usia dini. Tetapi, yang masih menjadi persoalan adalah mengenai
kurikulum yang diterapkan. Kebanyakan pengelola “masih” ingin mengajari anak
dalam tiga hal, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Persoalan membaca,
menulis, dan berhitung (calistung) memang merupakan fenomena tersendiri yang serba
dilematis. Tidak jarang, orangtua yang memiliki anak usia dini yang
disekolahkan (Play Group, Kelompok bermain) merasa khawatir anak-anaknya tidak
mampu mengikuti pelajaran di sekolah lanjutannya nanti (TK, SD), jika dari awal
belum dibekali keterampilan calistung. Akhirnya, banyak orangtua yang “memaksa”
anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi,
istilah-istilah “tidak lulus”, “tidak naik kelas” –sebagai dampak dari
pelaksanaan UN-, kini semakin menakutkan karena akan berpengaruh pada biaya
sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Pendidikan yang Dilematis
Pada dasarnya pembelajaran calistung pada usia dini dinilai
kurang tepat, karena seolah-olah memaksa anak yang masih dalam tahap
pertumbuhan (anak masih senang bermain). Tetapi, praktik pendidikan di tingkat
TK/SD –sebagai kelanjutan dari PAUD- berbicara lain. Selama ini pendidikan TK
didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa
sekolah yang dimulai di jenjang SD. Kegiatan yang dilakukan di TK pun hanyalah
bermain dengan menggunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca,
menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat TK, kecuali hanya
pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak
memasuki TK B. Tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit
masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu SD sulit diikuti jika
asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara
mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode
mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai
keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak
mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di
antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Paradigma Belajar
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam
mempelajari apapun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar
telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras
pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidak
dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu
pengetahuan. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini
tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah
merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan
belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah
permainan. Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa
belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan
gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak
menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan
majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran
yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga
sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan
bergaul ataupun musikal. Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran
baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu
sebuah pembatasan terhadap keterampilan.
Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan
kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat
anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus
untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster
bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi
gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi
poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang
mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan
yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan
penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan
banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak
bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal
huruf atau mengeja.Demikian halnya dengan pelajaran berhitung.
Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika
yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah
diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan
yang mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa
mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan.
Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk
mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada
melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa
memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan
pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.